Filed under: Kecerdasan Emosi, Kecerdasan Power, Kiat, Topik Personal, Cara Bahagia
Secara periodik kita akan mengalami kegelisahan. Merasa jenuh dengan aktivitas rutin yang kita lakukan setiap hari. Merasa kurang dengan apa yang telah kita capai. Merasa bosan dengan apa yang kita miliki.
Lalu mendadak kita bersemangat lagi untuk mengerjakan segala sesuatu. Merasa bersyukur dengan yang kita miliki, juga merasa lebih dekat dengan Tuhan. Tampaknya memang manusia mengalami siklus yang serupa dengan alam. Bila alam mengenal siang dan malam, pergantian musim, pertumbuhan dan kehancuran, maka demikian pula dengan fisik maupun mental manusia yang terkadang naik, terkadang turun. Kata orang itu disebut dengan bioritmik, ritme kondisi fisik dan mental seseorang.
Ketika istri saya berniat menjalani terapi untuk memudahkan punya anak, si ibu pemijat meminta datang pijat pertama kali pada hari kelahiran yang dihitung sesuai penanggalan Jawa. Waktu itu jatuhnya -kalau tak salah- adalah Senin Pon. Sebagian orang mungkin melihat hal tersebut sebagai hal yang tidak selaras dengan petunjuk agama.
Saya sendiri berpikir sederhana, aturan itu (perhitungan dengan ‘weton’ atau hari kelahiran) merupakan pendekatan untuk memperkirakan siklus fisiologi manusia, yang karena ilmunya dirumuskan jaman dahulu maka pemodelannya menggunakan sistem kalender bulan Jawa.
Kebudayaan orang jaman dulu sangat memperhatikan waktu untuk memulai aktivitas. Entah akurat atau tidak, saya kira itu merupakan pendekatan empiris pada kejadian yang mereka alami. Misalnya menghitung hari baik untuk memulai usaha. Menghitung perjodohan. Bahkan kemudian meramal-ramal nasib dengan melihat waktu lahir. Saya sendiri percaya dengan adanya siklus alam, namun TIDAK percaya bahwa model buatan manusia cukup akurat apalagi untuk memperkirakan nasib seseorang. Jadi saya tidak mengikuti cara memilih hari baik untuk memulai aktivitas dengan pemodelan orang jaman dulu.
Namun saya lebih menyukai melihat ‘hari baik untuk mulai usaha’ menggunakan logika modern (yang mungkin juga akan ditertawakan oleh orang jaman dulu). Misalnya, jangan mulai jualan baju setelah hari lebaran! Jelas tidak laku, karena menentang siklus perilaku pembelian baju oleh masyarakat banyak. Kalau mau jual baju ya baiknya sebelum lebaran. Sama halnya dengan lagu-lagu bernuansa religius Islam, pastilah paling tepat dimunculkan saat-saat ini menjelang puasa Ramadhan. Kalau lagu tersebut diterbitkan pada awal tahun baru, tampaknya melawan musim. Ibarat tanam padi di musim kemarau.
Secara periodik kita akan mengalami kegelisahan. Merasa jenuh dengan aktivitas rutin yang kita lakukan setiap hari. Merasa kurang dengan apa yang telah kita capai. Merasa bosan dengan apa yang kita miliki.
Lalu mendadak kita bersemangat lagi untuk mengerjakan segala sesuatu. Merasa bersyukur dengan yang kita miliki, juga merasa lebih dekat dengan Tuhan. Tampaknya memang manusia mengalami siklus yang serupa dengan alam. Bila alam mengenal siang dan malam, pergantian musim, pertumbuhan dan kehancuran, maka demikian pula dengan fisik maupun mental manusia yang terkadang naik, terkadang turun. Kata orang itu disebut dengan bioritmik, ritme kondisi fisik dan mental seseorang.
Ketika istri saya berniat menjalani terapi untuk memudahkan punya anak, si ibu pemijat meminta datang pijat pertama kali pada hari kelahiran yang dihitung sesuai penanggalan Jawa. Waktu itu jatuhnya -kalau tak salah- adalah Senin Pon. Sebagian orang mungkin melihat hal tersebut sebagai hal yang tidak selaras dengan petunjuk agama.
Saya sendiri berpikir sederhana, aturan itu (perhitungan dengan ‘weton’ atau hari kelahiran) merupakan pendekatan untuk memperkirakan siklus fisiologi manusia, yang karena ilmunya dirumuskan jaman dahulu maka pemodelannya menggunakan sistem kalender bulan Jawa.
Kebudayaan orang jaman dulu sangat memperhatikan waktu untuk memulai aktivitas. Entah akurat atau tidak, saya kira itu merupakan pendekatan empiris pada kejadian yang mereka alami. Misalnya menghitung hari baik untuk memulai usaha. Menghitung perjodohan. Bahkan kemudian meramal-ramal nasib dengan melihat waktu lahir. Saya sendiri percaya dengan adanya siklus alam, namun TIDAK percaya bahwa model buatan manusia cukup akurat apalagi untuk memperkirakan nasib seseorang. Jadi saya tidak mengikuti cara memilih hari baik untuk memulai aktivitas dengan pemodelan orang jaman dulu.
Namun saya lebih menyukai melihat ‘hari baik untuk mulai usaha’ menggunakan logika modern (yang mungkin juga akan ditertawakan oleh orang jaman dulu). Misalnya, jangan mulai jualan baju setelah hari lebaran! Jelas tidak laku, karena menentang siklus perilaku pembelian baju oleh masyarakat banyak. Kalau mau jual baju ya baiknya sebelum lebaran. Sama halnya dengan lagu-lagu bernuansa religius Islam, pastilah paling tepat dimunculkan saat-saat ini menjelang puasa Ramadhan. Kalau lagu tersebut diterbitkan pada awal tahun baru, tampaknya melawan musim. Ibarat tanam padi di musim kemarau.
0 komentar:
Posting Komentar